Mengayuhsepeda tidak hanya menyehatkan badan. Melalui kayuhan sepeda, kita juga bisa mengenal budaya dan menikmati keindahan alam Indonesia. "Barang-barang yang saya bawa saat touring kemarin itu di antaranya peralatan sepeda seperti kunci-kunci, rantai, ban serep, tambal ban dan pompa ban. Terus kalau untuk kebutuhan pribadi seperti tenda
Yuksimak ulasannya! 1. Untuk menjaga keseimbangan tubuh dengan sepeda, kita harus terus mengayuh pedal. Saat kita belajar menaiki sepeda, hal yang pertama kita lakukan adalah menyeimbangkan tubuh dengan sepeda. Jika kita berhenti mencoba menyeimbangkannya, yang ada kita akan terjatuh. Begitu pula dalam hidup, agar dapat hidup normal, maka kita
Ketenanganhati misalnya. Lagian doa kan sama seperti mengayuh sepeda ya, semakin kenceng berdoa kita akan cepat sampai di tujuan. Dalam janjinya Allah sudah sering bilang, di antaranya yang saya suka: "Allah Maha Pemalu jika ada hamba-Nya yang mengangkat tangan berdoa kepada-Nya maka tangannya kembali dengan tangan kosong"
3 "Karena berdoa bagaikan mengayuh sepeda, kadang jatuh terluka, namun percayalah, kayuhanmu takkan sia sia. Ia akan sampai, tepat pada waktunya. Hanya saja, kayuhanmu tak boleh berhenti." 4. "Banyak berdoa biar segala keinginanmu dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa di manapun dan kapanpun seperti mengayuh sepeda dan yakin akan dekat dengan
Diperjalanan pulang bersama sepedanya, Tegar lemas. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa gurunya akan berkata seperti itu. Tak kuat rasanya ia mengayuh sepeda lagi. Ia menangis sesenggukan hingga sampai rumah. Sebelumnya, di bangku kelas I ia menyadari ada perbedaan perlakuan terhadapnya dari guru-gurunya.
Ditengah keadaan seperti itu, Lampit, 57 tahun, mencoba melestasikan mainan tradisional. Ia tetap setia menjual mainan tradisional yang terbuat dari bahan kayu dan bambu. Dalam hatinya, sambil mengayuh sepeda tuanya, ia selalu berdoa, ada sejumput rezeki yang bisa ia bawa pulang untuk keluarganya. Artikel Menarik Lainnya: Jadi Tersangka
T80tOA. – Kata-kata tentang gowes cocok dijadikan caption media sosial. Gowes merupakan kegiatan mengayuh pedal pada sepeda. Ini 30 Kata-kata Penyemangat saat Gowes, Cocok Diunggah Jadikan Status Istilah lebih banyak digunakan orang jaman sekarang, terutama yang suka olahraga bersepeda. Bagi sebagian orang, bersepeda merupakan sebuah hobi. Namun, ada juga yang bersepeda agar tubuhnya tetap sehat dan bugar sehingga bisa terhindar dari berbagai macam penyakit dan virus. Kondisi tersebut yang membuat olahraga perlahan mulai banyak digandrungi. Banyak orang yang memilih bersepeda demi menjaga kesehatan, kebugaran, atau hanya sekadar melepas kepenatan. Di sisi lain, di era modern seperti saat ini, banyak orang yang tak hanya berolahraga saja, melainkan juga eksis dengan berfoto. Hal tersebut juga bisa terjadi pada orang yang suka bersepeda. Jadi, tak ada salahnya mengabadikan momen bersepeda dengan mengunggahnya ke media sosial. Saat mengunggah ke media sosial tersebut, pastinya tak lengkap jika tak ada caption. Kamu bisa memasukkan kata-kata tentang gowes dalam unggahanmu. Ada banyak kata-kata tentang gowes sepeda yang bisa dijadikan caption di media sosial. Berikut ini kumpulan kata-kata tentang tentang gowes, seperti dikutip dari laman Juproni, JalanTikus dan Wordsmile, Minggu 23/8/2020. Kata-kata tentang Gowes 1. “Dari gowes aku sadar, bahwa untuk sampai ke tujuan butuh untuk mengayuh berkali-kali.” 2. “Hidup itu seperti naik sepeda, jika kamu berhenti mengayuh pasti akan jatuh. Maka berjalanlah terus walaupun jauh, lelah menghampiri setidaknya ada peluang hadirnya secercah harapan.” 3. “Karena berdoa bagaikan mengayuh sepeda, kadang jatuh terluka, namun percayalah, kayuhanmu takkan sia sia. Ia akan sampai, tepat pada waktunya. Hanya saja, kayuhanmu tak boleh berhenti.” 4. “Banyak berdoa biar segala keinginanmu dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa di manapun dan kapanpun seperti mengayuh sepeda dan yakin akan dekat dengan tujuan.” 5. “Apapun sepedamu tak jadi masalah. Yang penting kamu masih ingat cara bersepeda.” 6. “Kamu tidak bisa sedih saat mengendarai sepeda”. 7. Karena mengulang-ulang doa itu seperti mengayuh sepeda, suatu saat ia akan membawamu ke arah yang kamu tuju. 8. “Kalau hidup ini seperti sepeda, aku berharap bisa mengayuh pedal ini bersama kamu.” 9. “Ini seperti mengayuh sepeda di gurun pasir yang tak berujung. Begitulah hidup jika digunakan hanya untuk mengeluh.” 10. “Usaha tanpa doa bagai sepeda tanpa roda, mengayuh pedal tanpa maju sedikitpun.” Laman 1 2 3 Gowes Media Sosial status unggah Berita Terkait
Para frater bersiap-siap dengan sepeda masing-masing ziarah ke Gua Maria Sriningsih. Foto Kelvin T – SETIAP bulan Mei dan Oktober, komunitas kami yakni Seminari Tinggi Anging Mammiri Yogyakarta Rumah studi bagi para frater Kauskupan Agung Makassar selalu mengadakan kegiatan ziarah bersama ke gua Maria. Di Yogjakarta sendiri ada banyak gua Maria sehingga kami memiliki beragam pilihan untuk berziarah. Perjalanan menuju tempat ziarah sudah pasti menggunakan sepeda, kecuali jika gua Marianya terletak di luar DI Yogyakarta. Momen ziarah ini menjadi pengalaman yang sangat mengesankan karena sudah pasti akan ada pengalaman yang tak terlupakan. Lebih dari itu, momem ini menghadirkan suasana yang berbeda saat kita berdoa bersama Bunda Maria. Tahun ini di bulan Mei kami seharusnya mengadakan ziarah bersama, tetapi karena situasi pendemi Covid-19, pada akhirnya kegiatan ziarah ini ditiadakan. Begitu pun pada tahun kemarin 2020, kami tak pernah lagi mengadakan ziarah bersama, sehingga bisa dikatakan bahwa terakhir kali kami berziarah pada bulan Oktober 2019. Adapun tempat ziarah kami pada waktu itu adalah Gua Maria Sendang Sriningsih, Prambanan, Yogyakarta. Peziarahan kami laksanakan pada tanggal 17 Oktober 2019. Pada saat berziarah, jumlah frater di komunitas kami kami ada 30 orang ditambah tiga romo pembimbing. Dari Jalan Kaliurang Km 7,4 Yogykarta, alamat seminari kami, perjalanan dibagi tiga kelompok agar kami tidak terlalu memenuhi jalan dan supaya koordinasi perjalanan bisa dikontrol dengan baik. Pada saat itu, saya sendiri masuk dalam kelompok dua. Karena para frater seolah ingin bersaing untuk mencari jalur alternatif, akhirnya teknologi google Maps juga digunakan. Namun, ternyata jalan alternatif ini justru menyesatkan dua kelompok termasuk kelompok saya sendiri. Ada beberapa kawan yang sampai emosi karena kami belum juga sampai di Jalan Solo yang menjadi jalur utama. Selain karena kami yang tersesat, ternyata kelompok lain juga memiliki permasalahnnya masing-masing. Ada yang ban sepedanya bocor, ada pula yang harus menunggu lama di SPBU karena salah seorang anggota kelompok kebelet ke toilet. Setelah melewati berbagai persoalan tersebut, kami akhirnya berkumpul di salah salah satu titik di jalan Solo, kira-kira dua kilometer dari Candi Prambanan. Saat semuanya sudah berkumpul, perjalanan kemudian dilanjutkan namun tetap terbagi dalam kelompok. Seingat saya, pada saat itu sedang musim kemarau sehingga cuaca begitu panas. Debu ada di mana-mana. Namun, kami tetap melanjutkan perjalanan dan saya sendiri yakin bahwa semuanya akan terbayar pada saat kami tiba tempat tujuan nanti. Sepanjang perjalanan, panas terik matahari seolah tak terasa saat saya disuguhi pemandangan pesawahan yang menguning, ladang jagung yang akan segera dipanen dan senyum dari orang-orang yang kami jumpai di jalan. Setelah perjalanan dengan berbagai pergulatan tadi, akhirnya kami tiba di Gereja Katolik St. Maria Marganingsih. Namun, ternyata perjalanan belum selesai, kami harus mendaki lagi untuk sampai di gua Maria. Dengan susah payah, kami mengayuh sepeda, bahkan ada beberapa teman yang harus menuntun sepeda karena tak mampu lagi mengayuh. Akhinya kami sampai di lokasi Gua Maria Sriningsih. Kami merayakan Ekaristi kudus dipimpin oleh Romo Anthon Michael, salah seorang formator kami. Saya langsung merasakan suasana yang berbeda; kesejukan, aura yang sakral serta kedamaian di tengah rimbunan pepohonan. Tempat ini memang berbeda dari sekitarnya. Jika dalam perjalanan tadi saya banyak melihat tanah yang kering, dan pohon yang berguguran, di sini justru sangat berbeda. Tempat ini pada akhirnya memang pantas disebut Sriningsih perantara rahmat Tuhan. Selain karena adanya sendang yang menyejukkan dan menyuburkan tumbuhan di sekitarnya, adanya tempat ini juga menjadi sumber rezeki bagi penduduk setempat. Saya meperhatikan ada beberapa orang yang membuka usaha di sekitar lokai gua seperti membuka warung makan dan toko rosario. Saat tiba di pelataran gua, kami terlebih dahulu beristirahat dan berbenah diri, mencoba memulihkan tenaga setelah bersepeda sejauh hampir 30 km. Beruntunglah sebuah keluarga menyiapkan suguhan teh hangat dan snack yang sungguh mengobati rasa lelah dan perut kami yang mulai keroncongan. Keluarga tersebut menyambut kami dengan sukacita dan dengan senang hati menyajikan makanan untuk kami. Setelah urusan energi dan perut sudah selesai, kami kemudian membersihkan diri. Tepat di bawa pelataran gua Maria, terdapat kompleks kamar mandi sehingga kami bisa membersihkan diri dengan nyaman. Setelah semuanya beres, kami kemudian merayakan Ekaristi di sebuah kapel Joglo yang ada di samping gua. Ekaristi dipimpin oleh Romo Anthon Michael, salah seorang formator kami. Bagian khotbah diganti dengan sharing dari perwakilan masing-masing kelompok. Tentu saja para perwakilan menyajiian kisahnya dengan sangat baik diramu dengan berbagai kekonyalan yang terjadi di sepanjang jalan. Lebih dari itu frater-frater yang bersharing menganalogikan perjalanan yang melelahkan ini layaknya sebuah panggilan untuk menjadi pelayan Tuhan. Panasnya matahari, dan lelahnya raga tak menghalangi kaki untuk mengayuh sepeda sampai di tujuan. Dalam hal ini mengayuh sepeda layaknya kesetiaan kita pada panggilan walaupun di perjalanan ada begitu banyak rintangan. Sehabis Misa, kami kemudian melanjutkan dengan devosi pribadi kepada Bunda Maria. Saya sendiri tak langssung berdoa tetapi mencari tempat untuk duduk sembari menikmati suasana di lokasi gua Maria ini. Saya memperhatikan beberapa kelompok yang juga datang untuk berdoa. Padahal waktu itu kami datang pada hari Kamis, namun tetap saja tempat ini cukup ramai. Saya melihat bahwa memang ada banyak umat beriman yang sangat tekun berdevosi kepada Bunda Maria. Tentu saja, cara beriman ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Kami berfoto bersama di depan Gua Maria Sriningsih. Saat pelataran gua sudah mulai sepi, saya kemudia mengambil tempat untuk berdoa. Saya duduk tepat di bawah pohon cendana yang teduh. Situasi ini juga menambah keteduhan di hati saya. Doa Salam Maria saya lantunkan perlahan-lahan dalam hati di samping teman-teman yang juga sedang khusyuk berdoa. Bersama Bunda, saya memanjatkan intensi terutama semoga ia senanti menemani dalam jalan pangilan saya untuk menjadi pelayan Puteranya. Misa dan doa pribadi telah selasai. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah mengabadikan peziarahan kami hari ini. Kami berfoto bersama sebagai sebuah komunitas di antara dua pohon cendana di depan gua Maria. Saya rasa tempat ini adalah spot foto paling faforit. Selain karena langsung berada di depan gua Maria, kehadiran dua pohon cendana turut menperindah latar belakang foto. Pada sekitar jam tiga sore kami perlahan-lahan berrbenah, bersiap-siap untuk pulang. Sekali lagi, jarak yang jauh akan menjadi pergulatan kami dalam perjalanan pulang ini. Fr. Kelvin Tandiayu,Yogyakarta
berdoa seperti mengayuh sepeda